Minggu, 07 Februari 2016

Tugas 1 Pemrograman Pangkalan Data

Cerita Tentang Dua Malaikat dalam Keluarga

Cerita Tentang Dua Malaikat dalam Keluarga



Fidiya Aini - S1 Perpustakaan dan Ilmu Informasi - Universitas Negeri Malang



Perkenalkan nama saya Fidiya Aini. Namun kebanyakan memanggil saya dengan sebutan “Fid” atau “Kipit/Ipid”. Akan tetapi saya mempunyai panggilan tersendiri dalam keluarga. Saya tinggal di dusun kecil yang terletak diantara perbatasan Lamongan-Gresik bagian utara.
Disini saya tidak akan menceritakan tentang diri saya pribadi melainkan saya akan bercerita tentang 2 malaikat saya, Bapak dan Ibu. Kalau bercerita mengenai mereka mungkin 1 atau pun 2 lembar kertas saja tak cukup. Banyak sekali yang ingin saya gambarkan mengenai mereka berdua.
Yang pertama tentang sebuah nama yang indah “Bapak”. Saya sangat mengagumi beliau. Mengapa? Karena beliau merupakan seorang Bapak yang pendiam namun tegas dan juga rela berkorban untuk keluarganya. Untuk bercerita tentang Bapak, saya tak banyak mempunyai cerita tentang beliau, karena jujur saja saya amat jarang untuk bercengkrama ataupun saling bercerita tentang masa depan tentang harapan saya kepada Bapak. Meskipun dibilang jarang untuk saling bertukar pikiran, namun saya sangat mengagumi sosok Bapak. Satu hal yang saya ingat dari beliau adalah ketika keluarga saya mendapatkan musibah, beliau rela untuk mengorbankan dirinya hanya untuk keluarga.
Mungkin jika saya bercerita tentang kepribadian beliau, saya akan meneteskan beribu-ribu airmata hanya untuk mengenang semua pengorbanan beliau. Beliau sangat rela jika saya meminta untuk ditemani pergi kemana-mana, ketika saya membutuhkan sesuatu beliau dengan siap rela mengantar saya sampai kebutuhan tersebut terpenuhi. Beliau tak pernah mengeluh dihadapan anak-anaknya. Beliau selalu terlihat sebagai sosok Bapak yang mengagumkan.
Saya menangis ketika saya harus pisah untuk waktu yang lama dengan beliau. Saya tak bisa apa-apa. Saya harus mulai mandiri tanpa beliau ketika saya berada dalam perantauan. Saya sadar ketika Bapak dan Ibu melepas saya untuk menuntut ilmu, Bapak sangat merasa kehilangan sosok saya di keluarga dan begitupun sebaliknya saya sangat merasa tak bisa apa-apa tanpa beliau.
Beribu-ribu jaraknya doa akan tetap sampai. Begitulah pepatah yang sering saya gunakan untuk menguatkan diri saya agar tetap bisa bertahan dan berjuang di tanah orang. Ketika saya mendengar beliau sakit, disitulah titik terapuh dalam perjalanan saya. Saya tidak bisa langsung pulang begitu saja disaat mendengar kabar yang kurasa sangat buruk bagi pendengaran saya. Wajar jika saya menangis sejadi-jadinya ketika tak ada satupun orang yang memberi tahu pada saya bahwa beliau jatuh sakit. Saya tahu betul penyakit beliau. Saya sempat berpikir, bagaimana jadinya saya ketika beliau sudah tak lagi membuka matanya untuk melihat dunia? Bagaimana saya harus berusaha ikhlas disaat beliau sudah tak bisa lagi mengantar saya kemanapun saya mau? Namun sekali lagi, sejauh apapun jarak antara saya dan beliau, doa akan tetap sampai.
Untuk cerita selanjutnya yang ingin saya tulis adalah tentang seorang wanita pekerja keras, tentang malaikat yang sengaja diturunkan Tuhan untuk melengkapi hidup saya, tentang wanita yang tak pernah nampak menangis, dan tentang wanita yang selalu mengajarkan saya artinya berbagi dalam kesederhanaan. Ibu.
Sosok Ibu dalam kehidupanku sangat terlihat nyata. Beliau sangat rela berkorban demi anak-anaknya bahkan melebihi Bapak. Saya masih ingat, bagaimana Ibu merawat saya seorang diri ketika Bapak masih berjuang di tanah rantau. Ibu merupakan sosok yang sangat pekerja keras. Saya tahu betul bagaimana perjuangan Ibu untuk mendapatkan pekerjaan mulai dari nol hingga saat ini yah Alhamdulillah sudah bisa membantu meringankan beban Bapak. Ibu selalu menguatkan anaknya disaat anaknya sedang dalam masalah. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah ketika Ibu menangis dalam sujud panjangnya, ketika Ibu harus melepaskan saya untuk belajar di tanah rantau. Banyak yang bilang saya anak mami, yah memang pada kenyataannya saya merupakan anak yang seperti itu. Maka dari itu, Ibu menangis berdoa pada Tuhan mungkin agar saya bisa hidup mandiri di tanah orang.
Akan tetapi karena kesibukan Ibu, saya terkadang marah mengapa Ibu jarang sekali ada waktu untuk sekedar bercerita tentang kerasnya hidup ketika saya sudah mulai beranjak dewasa. Mungkin Ibu menginginkan agar saya bisa berpikir secara mandiri dan sudah harus bisa menyelesaikan masalah sendiri. Meski terkadang saya sangat merindukan sosok Ibu yang dulu selalu menjadi tempat curahan kekecewaanku pada hidup. Mungkin semua hanya masalah waktu. Ketika saya sudah beranjak dewasa dan ketika kesibukan kuliah semakin menyita waktuku, saya merupakan anak yang jarang sekali pulang dalam dekapan keluarga. Hampir setiap hari saya menanyakan kabar Ibu, mungkin Ibu bosan dengan tingkah kekanak-kanakan saya yang selalu ingin bercerita dengannya.
Ibu sosok yang sangat kuat, tangguh, pekerja keras, bijaksana, tegas, dan pemaaf. banyak sekali sikap dan sifat yang sangat saya kagumi pada diri Ibu. Terkadang saya berpikir, saya ingin menjadi seperti Ibu, namun Ibu selalu berkata “jangan jadi seperti Ibu nak, Ibu tak pandai, Ibu masih banyak kekurangan, kamu harus jadi lebih baik dari Ibu”. Ah ibu, padahal menurutku Ibu lah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Sekeras apapun Ibu menolak ketika saya ingin jadi seperti Ibu dalam hati saya selalu berdoa agar saya bisa meniru perjuangan keras Ibu agar menjadi sukses. Ibu sangat kuat, Ibu selalu merangkul anak-anaknya ketika anak-anaknya tengah terjatuh. Sekali lagi Ibu sangat kuat dan sabar, saya tetap ingin menjadi seperti beliau. I’m not as strong as you, Mom. But I always trying to be like the figure of my Mom.
Salam rindu dari anakmu yang jauh menuntut ilmu dalam rantauan Pak, Bu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar